Studi Kultur Berpikir ala Batak, Jawa dan Minang
"...an investigation whose purpose is to explore a situation, phenomenon, question, or problem to arrive at a hypothesis or conclusion about it that integrates all available information and that can therefore be convincingly justified" (Kurfiss, 1988, p. 2). Critical thinking can also be seen as "...the careful and deliberate determination of whether to accept, reject, or suspend judgment about a claim" (Moore & Parker, 1986, p.72) and as "...thinking that facilitates judgment because it relies on criteria, is self-correcting, and is sensitive to context" (Lipman, 1991, p. 116).
Berpikir kritis menurut defenisi di atas merupakan sebuah investigasi yang bertujuan untuk mengeksplorasi sebuah situasi, penomena, teka-teki atau masalah untuk sampai kepada sebuah hipotesa atau kesimpulan yang mengintegrasikan semua informasi yang ada dengan maksud agar dapat dijustifikasi secara meyakinkan.
Tulisan ini berasal dari Chandra, J.S. (2004). Notions of critical thinking in Javanese, Batak Toba and Minangkabau culture . In B. N. Setiadi, A. Supratiknya, W. J. Lonner, & Y. H. Poortinga (Eds.). Ongoing themes in psychology and culture (Online Ed.). Melbourne, FL: International Association for Cross-Cultural Psychology. Retrieved from http://www.iaccp.org.
Hal yang menarik dari studi ini adalah perbandingan kultur berpikir orang Batak (Toba) dengan Jawa dan Minang. Yang terakhir ini merupakan dua suku paling dominan di Indonesia paska kemerdekaan, setidaknya selain dari Bugis, Ambon, Aceh, Melayu dan lain sebagainya.
Terlebih dahulu dipahami bagaimana sistem sosial ketiga pihak yang akan dibandingkan tersebut. Orang Jawa dikatakan mempunyai dasar kehidupan yakni untuk hidup dalam harmonitas, mempunyai tenggang rasa, toleran dan menghindari perselisihan inter-personal.
Mereka beranggapan bahwa kebersamaan dalam kelompok atau group lebih penting dari kepentingan pribadi. Dalam segi penghormatan mereka mempertahankan sistem hirarkis dengan cara menunjukkan penghormatan kepada mereka yang berada dalam posisi yang lebih tinggi dan melindungi mereka yang berada di level yang bawah.
Sistem sosialnya bersifat feudal, dimana masyarakat yang mempunyai posisi yang tinggi yang akan lebih menikmati kehidupan dan merasa nyaman dan puas dengan kondisinya sekarang. Motto hidupnya, kehidupan adalah perputaran kejadian yang penuh dengan penderitaan, maka terimalah itu.
Mereka juga mempunyai kebiasaan andap asor yakni siap melayani/menolong mereka yang mempunyai status sosial. Bersikap low profile; jangan pernah anggap dirimu lebih tinggi dan tidak baik untuk sikap berbeda. Fatalistik, yakni beranggapan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah hidup ini. Dan dalam cara pandang terhadap waktu lebih melihat ke masa sekarang dan masa lalu.
Sedangkan orang Batak, dalam hal kebersamaan, solidaritas antar kelompok berhubungan dengan talian darah atau perkawinan. Makna kehidupan bagi mereka adalah perjuangan untuk bertahan atau survive.
Dalam hal penghormatan, mereka akan melihat posisi seseorang terhadap orang lain atau dimana tempatnya berada. Level sosial seseorang tidak tetap tergantung apa posisinya dalam sebuah upacara. Misalnya Hula-hula, Parboru, atau Dongan Sabutuha.
Dalam hal berinisitaif untuk bertindak, mereka akan melakukannya sesuai dengan hak dan tanggung jawab yang ada padanya. Selain itu, bila kehidupannya dipandangnya tidak berkembang, mereka akan pindah ke tempat lain untuk meningkatkan taraf kehidupan, ingin membuktikan bahwa seseorang bisa berubah menjadi lebih baik.
Dalam hal tujuan hidup, mereka akan mementingkan hagabeon yakni mempunyai banyak anak, Hamoraon, yakni untuk menjadi kaya, dihormati atau hasangapon dan untuk maju dan modern atau hamajuon. Bagi mereka pendidikan lebih penting untuk menjadi maju dan mencapai kehidupan yang lebih baik.
Sedangkan nilai-nilai pada orang Minang adalah kesatuan dalam norma-norma budaya dan ajaran Islam. Sedangkan kebersamaan ditentukan oleh hubungan maternalistik. Prinsip persamaan, manusia hanyalah salah satu dari beberapa hal di dunia ini seperti tanah, bumi, rumah, suku dan agama atau nagari.
Mereka akan belajar dari segala sesuatu hal bahkan belajar dari alam dan tentunya pengalaman (alam terkembang jadi guru). Mempunyai kebiasaan untuk merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik dan untuk menghindari berada dalam masyarakat dengan opini yang berbeda.
Dari riset yang dilakukan ditemukan bahwa setiap tiga suku tersebut di atas mempunyai beberapa keunikan tersendiri di samping tentunya banyak ditemukan kesamaan. Kultur Jawa mendorong kepada cara berpikir yang reflektif, orang lain mungkin saja tidak dapat menyadari betapa dalamnya seorang Jawa terlibat dalam pemikirannya sendiri karena pemikiran tersebut tidak ditunjukkan oleh bahasa tubuhnya.
Di lain pihak, Toba dan Minang lebih menyukai cara berpikir yang ekspresif. Mereka sanggup untuk berargumen berdasarkan prinsip-prinsip logika. Bagi orang Minang, prinsip logika biasanya tidak akan kontradiksi dengan dengan prinsip keyakinan mereka yakni ajaran Islam, karena mereka beranggapan bahwa hukum-hukum Islam lebih mulia dari hukum-hukum yang dibuat oleh manusia.
Sedangkan bagi orang Batak, kepercayaan diri merupakan modal untuk berargumen. Walaupun begitu, saat fakta-fakta dan bukti-bukti yang kontradiktif dapat diketahui kemudian, mereka dapat berubah opini dalam sebuah isu yang debatable tanpa merasa malu atau sakit hati. Dengan demikian, argumentasi dapat berjalan dengan terbuka dan setiap orang terkait diundang untuk saling berbagi opininya.
Dalam hal berekspresi, orang Jawa lebih memilih untuk menimbang matang-matang apakah telah sesuai saatnya untuk menyampaikan sebuah kritik terhadap seseorang. Tempat, waktu, kata yang digunakan, intonasi dan perbandingan status pengkritik dan yang dikritik harus dipertimbangkan masak-masak.
Sedangkan orang Minang dan Batak lebih memilih untuk menyampaikannya secara langsung agar orang tersebut menyadari dan mengetahuinya.
Saat orang Jawa mempunyai kebiasaan untuk tidak mengekpresikan kritikannya secara terbuka dan lebih memilih untuk menyampaikannya secara tidak langsung dengan bercanda dan bergurau, orang Batak lebih beranggapan bahwa melalui argumentasi dan pembicaraan permasalahan dapat diselesaikan sehingga tidak ada lagi perasaan sakit hati antara kedua pihak.
Sedangkan pihak Minang lebih memilih untuk menyelesaikan sebuah permasalahan di Lapau. Para lelaki mendiskusikan semua hal di kedai kopi dan tidak ada keharusan agar permasalahannya selesai.
Konsep-konsep berpikir bagi orang Jawa adalah bahwa berpikir kritis berarti berpikir reflektif atau mawas diri dalam pencarian kebenaran. Karakteristik dari seorang yang berpikir kritis bagi orang Jawa adalah bahwa dia harus objektif dalam membedakan sesuatu; bila dibutuhkan dapat menjaga jarak secara emosional dari orang atau objek yang dikritisi.
Mereka juga sanggup untuk bersikap fleksibel dalam menyampaikan opininya secara berbeda dari pihak mayoritas. Mereka menggunakan beberapa acuan dalam menilai orang lain dan membutuhkan waktu untuk berpikir sehingga tidak dibutuhkan untuk tergesa-gesa. Bersikap sungkan dan lambat memberi respon.
Sedangkan bagi orang Toba, berpikir kritis merupakan berpikir secara logika, sistematis dan rasional. Karakteristik orang yang kritis adalah percaya diri, sanggup untuk bersikap beda dengan yang lain, istiqomah, dapat mengontrol emosi seseorang, mempunyai keingintahuan untuk menyampaikan sesuatu secara personal atau di depan umum.
Sedangkan bagi orang Minang, berpikir kritis itu adalah berpikir secara logis, sesuai dengan norma-norma budaya dan ajaran Islam. Karakteristik orang berpikir kritis adalah, jujur, sanggup berbeda dengan yang lain, mampu berargumentasi dan demokratis atau terbuka untuk opini yang berbeda.
Dalam hal alat-alat penyampaian opini, orang Jawa lebih memilih beberapa bentuk seni budayanya untuk menyampaikan opininya yang berbeda. Sedangkan bagi orang Batak, mereka menempatkan norma-norma budaya sebagai acuan praktis untuk permasalahan kehidupan; sebagai benteng untuk melindungi hak seseorang. Orang Minang sangat bernuansa demokratis, egaliter dan semua orang berada dalam status yang sama.
Orang Jawa akan menggunakan diskusi terbuka untuk mencari sebuah solusi, semua orang diundang dan keputusan akhir harus disetujui oleh mayoritas. Bagi orang Batak, diskusi terbuka digunakan untuk menyampaikan pendapat dan biasanya juga digunakan untuk menyelesaikan masalah. Bagi Minang, harus terjadi terlebih dahulu konsensus kelompok sebelum sebuah keputusan diambil.
Orang Jawa mempunyai kebiasaan untuk toleran bagi mereka yang berbeda. Sedangkan bagi orang Batak, prinsip demokrasi Dalihan Natolu membuat setiap orang harus mempunyai status yang sama dengan yang lain. Sedangkan bagi orang Minang, mereka menekankan semangat dan moral, pikiran dan pengetahuan, keyakinan dan agama merupakan hal yang ideal bagi orang Minang.