Dinasti Pane
Berikut adalah Dinasti Pane yang pernah direkam oleh sejarah sejak tahun 1700-an
Rulers (title Sutan Gagar Alam)
1790 - 1813 Raja Sati
1813 - 1856 Raja Badiri Sutan Mengedar Alam
1856 - 1880 Sutan Gagar Alam
1880 - 1907 Sutan Mengedar Alam Syah
1907 Tengku Sulung Syahmara
1907 - .... Sutan Gagar Alam Rahmatullah
"Pelabuhan Pane ini dari mana 'banyak kamper bermutu" dikeluarkan, terletak di pantai timur di bawah Perlak dan tidak lain dari Pane." Tampaknya persamaan fonetik dengan Langsa, Tamiang, Kompe, Aru atau Labuhan Deli tindak mungkin, sama juga dengan Kota Cinayang berkembang antara akhir abad ke-12 M dan akhir abad ke-14 M: E. McKinnon, "Research at Kota Cina, a Sung-Yang period trading site in East Sumatra", Archipel, 14, 1977, hal. 19-31.
Salah satu dari dua kuala yang terletak sesudah Tanjung balai, serta sungai yang berkuala di sini (Aek Pane atau Sungai Pane alias Batang/Sungai Barumun) dinamakan Pane. Selain itu, sebuah kampung di sebelah kanan anak sungainya yang pertama, yaitu Sungai Bila, bernama Pane. Mungkin bagian hilir anak sungai ini juga dinamakan Pane karena merupakan salah satu dari perpanjangannya. (Pada 2' 22' U 100' 5' T: Residentien Sumatra's Oostkust…, dimana terdapat tempat-tempat lain yang bernama Pane.
Dalam peta Residentien Sumatra's Oostkust…nama Pane diberikan kepada kuala dan bagioanm hilir Batang atau Sungai Barumun yang bermuara dengan Sungai Bila. Hal yang sama dalam Atlas van de gewesten der buitenbezittingen, peta Tropisch Nederland, Batavia, 1938, lembar 2a, sungainya dinamakan Sungai Barumun sampai Kuala Pane. Sama juga dalam Indonesia 1:250000, lembar "Tanjung Balai", 1960. Diduga nama Pane diberikan untuk bagian hilir Sungai Bila, yang kadang kala juga dinamakan Pane, serupa dengan bagian hilir Sungai Barumun dalam beberapa peta. Di Kampung Pane, jarak antara kedua sungai ini beberapa kilometer saja.
Dalam suratnya kepada Jacques I, Iskandar Muda mencatat Pane sebagai jajahan Aceh di pantai timur Sumatra. Sedangkan dalam Negarakertagama terdapat nama Pane. Juga dalam prasasti Rajendra I di Tanjavur mencatat "Pane di tepi Sungai" di antara kota atau daerah yang diserang oleh tentara Cola pada tahun 1025 M. (Lombard, hal 98-99). Lokasi ini diduga bernama Kuala Pane. Sekarang di bagian selatannya terdapat pelabuhan Labuhan Bilik.
Namun hipotesisi tentang lokasi ini, sebagaimana sering diusulkan, diragukan karena di gabian hulu sungai Barumun, di dataran tinggi Padang Lawas, terdapat sekumpulan candi dan kebanyakan terletak di tepi sungai yang juga bernama Pane (Batang Pane), anak Sungai Barumun.
Berdasarkan epigrafi dan tanda-tanda pengaruh Jawa, candi-candi ini diduga dari abad ke-10 hingga abad ke-14 M dan merupakan peninggalan dari sebuah kerajaan besar beragama Buddha dan berpusat di daerah pedalaman.
Nama Pane juga terdapat di tempat lain: Sebuah Kota dan sebuah daerah di sebelah timur Danau Toba dan daerah pedalaman kota Tanjung Balai. Wheatly berpendapat bahwa sal kata nama Pane berasal dari bahasa Tamil yang berarti "ladang", tapi ini hanya merupakan sebuah usulan saja. Pane juga nama marga orang Batak di Pantai Barat dan karena Padang Lawas lebih dekat dengan pantai ini, R. Mulai mengusulkan bahwa Pelabuhan Sibolga dan Barus merupakan pintu masuk kerajaan tersebut yang berpusat di daerah candi-candi.
Jelas bahwa Padang Lawas dahulu berhubungan dengan pantai barat. Mungkin daerah Toba di selatan Danau Toba, tercatat dalam NegaraKertagama, berperan juga dalam hubungan ini. Namun menurut Prasasti Tanjavur, "Pane terletak di tepi sungai", dan kurang dari seabad kemudian teks kita mencatat Pane sebagai pelabuhan. Akhirnya pada abad ke-17, sebuah surat dari Iskandar Muda menyebut Pane dalam daftar tempat-tempat di pantai timur, di antara Tanjung Balai dan Rokan.
Pelabuhan Pane dahulu benar-benar dekat dengan kuala sungai Pane dan kemungkinan besar terletak di tempat yang dinamakan Pane sekarang. Hipotesisi ini diperkuat oleh keadaan dimana sebuah anak sungai Barumun di bagian hulu, Sungai Barumun dan kualanya dinamakan Pane. Mengenai Padang Lawas tidak ada halangan bahwa itu termasuk dalam sebuah kerajaan yang bernama Pane dan berpusat di pantai atau sebaliknya berpusat di daerah pedalaman dan berpintu di pantai.
Daerah-daerah yang paling kaya dengan kamper terletak di antara pelabuhan Barus dan pelabuhan Pane, yakni Bukit Barisan. Maka adanya dua pelabuhan utama untuk kamper yaitu di tepi Lautan Hindia dan tepi Selat Malaka adalah akibat dari konteks geografi saja.
Namun untuk mengekspor kamfer dalam jumlah yang besar pada abad ke-12 M, Pane semestinya berhubungan dengan daerah-daerah yang terletak di bagian hulu Sungai Barumun, dan kalau sungai ini juga dinamakan sungai Pane, maka sungai inilah yang sejak dahulu merupakan jalan utama untuk kamfer dan bahan-bahan dari pedalam ke pantai timur.
Ini mungkin konfirmasi bahwa kerajaan Pane meliputi seluruh daerah aliran sungai Barumun termasuk Padang Lawas. Walaupun Pane tidak disebut kemudian dalam sumber Cina, termasuk Ma Huan, tidak berarti kerajaan ini telah hilang seperti yang ditunjukkan oleh Millsm karena Ma Huan juga tidak menyebutkan kerajaan Lampung dan Kampar.
Pane juga merupakan salah satu dari dua kerajaan yang tidak dicatat oleh Marco Polo, mungkin karena Pane terletak di salah satu daerah yang tidak dikunjunginya. Namun kemerosotan Sriwijaya sejak abad ke-13 M akibat serangan Siam dan Jawa, serta hilangnya kekuasaan atas kawasan selat, pasti juga melemahkan Padang Lawas-Pane.
Berdasarkans sebuah prasasti dari abad ke-14 yang ditemukan di bagian hulu daerah aliran sungai Rokan, yang dipercayai diperuntukkan bagi seorang tuan tanah yang tunduk kepada Raja Adityawarman dari Minangkabau, diduga bahwa zaman itu di Padang Lawas masih terdapat sebuah pusat kerajaan.
Pada abad ke-16 sewaktu Malaka dan Aceh berkembang, Sulayman al-Mahri mengenal sebuah pelabuhan saja untuk kamfer di seluruh Sumatera, yakni Fansur dan tidak mencatat Pane di antara Aru dan Rokan yang dideskripsikan sebagai dua pelabuhan kecil. Pires meletakkan kerajaan Arcat, yang tunduk pada Aru, di daerah yang diduga bernama Pane pada zaman sebelumnya. Selain itu, Pires menambahkan bahwa Aru menyediakan sejenis kamfer yang kualitasnya lumayan dan berbagai jenis barang. Sebagian dari barang dagangan itu beredar di Minangkabau sedangkan sebagain lainnya dibawa ke Fansur , seperti jaman dahulu. (Cortesao hal 148).